Wednesday, July 14, 2010

Bersikap Keras Atas Ahlul Bid’ah tanda Kasih Sayang

Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1103

Penulis: Redaksi MerekaAdalahTeroris.com

Manhaj, 28 September 2006, 12:36:22

Ahlus Sunnah wal Jama’ah terus senantiasa memperingatkan umat dari bahaya bid’ah dan ahlul bid’ah. Tanggapan dan tuduhan jelek terus dilancarkan oleh ahlul bid’ah, karena dada mereka terasa sesak tatkala segala kejahatan dan kesesatan mereka dibongkar oleh Ahlus Sunnah. Mereka merasa “keberatan” atas “sikap keras” Ahlus Sunnah atas segala penyimpangan yang mereka lakukan.

Mereka menyatakan : “Kenapa kalian justeru bersikap keras terhadap saudara sendiri, sementara kalian diam atas kejahatan Amerika dan sekutunya?!!.” Tak ayal lagi, tuduhan miring pun mereka lontarkan : “kalian telah menyenangkan musuh-musuh Islam, kalian telah loyal kepada para thaghut ….dst.”

Mengajak umat kepada al Haq, dan membantah kebatilan dan para pembawanya termasuk prinsip terpenting Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Prinsip ini termasuk bagian dari amar ma’ruf nahi munkar yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman tentang Nabi-Nya :
الذين يتبعون الرسول النبي الأمي الذي يجدونه مكتوبا عندهم في التوراة و الإنجيل يأمرهم بالمعروف و ينهاهم عن المنكر و يحل لهم الطيبات و يحرم عليهم الخبائث
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka. Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang dari munkar, dan menghalalkan bagi mreka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” [Al A’raf : 157]

Umat ini pun sebagai umat terbaik, ketika mereka merealisasikan prinsip ini, sebagaimana Allah tegaskan:
كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف و تنهون عن المنكر و تؤمنون بالله
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari munkar dan beriman kepada Allah.” [Ali ‘Imran : 110]

Ini merupakan akhlaq mereka dengan sesamanya:
و المؤمنون و المؤمنات بعضهم أوليآء بعض، يأمرون بالمعروف و ينهون عن المنكر
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lainnya. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” [At Taubah : 71]

Ketika prinsip amar ma’ruf nahi munkar ini mulai ditinggal, maka itu merupakan salah satu sebab kebinasaan suatu kaum. Allah menceritakan tentang sebab kebinasaan Bani Israil, salah satunya adalah:
كانوا لا يتناهون عن منكر فعلوه، لبئس ما كانوا يفعلون
Mereka itu satu sama lain tidak mencegah dari kemungkaran yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. [Al Ma-idah : 79]

Bahkan mencegah saudara sesama muslim dari perbuatan salah merupakan bukti wala’ seorang muslim terhadap saudaranya, sebagaimana Allah sebutkan dalam firman-Nya di surat At Taubah:71 di atas.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا. قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُوْمًا، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ : تَأْخُذْ فَوْقَ يَدَيْهِ
Tolonglah saudaramu yang zhalim maupun yang terzhalimi.
Para shahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, jelas kami akan menolong yang terzhalimi, tapi bagaimana kami akan menolong orang yang zhalim?
Rasulullah menjawab: yaitu (dengan cara) kamu tahan tangannya (agar tidak berbuat zhalim).” [HR. Al Bukhari]

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan : “Menganjurkan manusia agar berpegang dan mengikuti As Sunnah serta mencegah jangan sampai bid’ah muncul dan tersebar, termasuk amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan ini merupakan amal shalih yang paling mulia, sehingga seharusnya betul-betul dijalankan dengan penuh keikhlashan mengharapkan wajah Allah ” [Minhajus Sunnah V/253].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Da’i yang mengajak kepada satu bid’ah berhak menerima hukuman, menurut kesepakatan kaum muslimin. Hukuman itu terkadang berupa hukuman mati atau yang lebih ringan, sebagaimana para salafush shalih membunuh Jahm bin Sufyan, Ja’d bin Dirham, Ghailan Al Qadari, dan lain-lain. Seandainya dia dianggap tidak berhak dihukum atau tidak mungkin dihukum seperti itu, maka menjadi sebuah keharusan untuk diterangkan kebid’ahannya dan men-tahdzir umat supaya menjauhinya. Karena sesungguhnya hal ini termasuk amar ma’ruf nahi munkar yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” [Majmu’ul Fatawa XXXV/414]

Membantah orang-orang munafiq dan para pembawa kebatilan termasuk bagian daripada jihad fisabilillah. Allah dengan tegas memerintahkan kepada Nabi-Nya:
يا أيها النبي جاهد الكفار و المنافقين و اغلظ عليهم، و مأواهم النار و بئس المصير
Wahai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafiqin, serta bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat tinggal mereka adalah jahannam, dan itu sejelek-jelek tempat tinggal [At Taubah:73]

Mujahid itu tidak hanya mereka yang terjun di medan tempur dengan mengangkat senjata. Para pembela agama dari kerusakan, penyimpangan, dan penyelewengan juga termasuk mujahid. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh seorang mujahid besar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Orang yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid.”

Al Imam Al Mujahid Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata: “Jihad melawan munafiqin ini lebih berat daripada jihad melawan orang-orang kafir. Jihad ini merupakan jihadnya orang-orang khusus dari umat ini, yaitu para ‘ulama pewaris para nabi. Maka orang-orang yang tampil menegakkan jihad jenis ini hanyalah segelintir orang saja, demikian juga orang yang mau membantu mereka hanya sedikit saja. Namun demikian, meskipun secara jumlah mereka itu sedikit, mereka sangat besar kedudukannya di sisi Allah.” –sekian dari Ibnul Qayyim-

Yahya bin Yahya, guru Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim, : Membela sunnah lebih utama daripada jihad (perang melawan orang kafir!) [Majmu’ Al Fatawa IV/13].

Al Imam Al Harawi meriwayatkan dengan sanad beliau dari Nashr bin Zakariya ia berkata: Saya mendengar Muhammad bin Yahya Adz Dzuhli berkata: “Saya mendengar Yahya bin Yahya berkata: “Membela Sunnah lebih utama daripada jihad fi sabilillah!” Muhammad bin Yahya berkata (keheranan): “Seorang mujahid telah menyerahkan hartanya, mengerahkan kekuatannya dan berjihad di jalan Allah, lantas (bagaimana mungkin) pembela sunnah itu lebih utama daripadanya?”
“Benar, bahkan (pembela sunnah) jauh lebih utama!” jawab Yahya [Dzammul Kalam lembaran A-111].

Al Humaidi, salah seorang guru Al Imam Al Bukhari, berkata : Demi Allah, aku lebih suka menyerang orang-orang yang menolak hadits Rasullullah daripada menyerang sebanyak itu tentara At Turk” [diriwayatkan oleh Al Harwi melalui sanadnya sendiri dalam Kitab Dzammul Kalam (288-Syibl)], Maksud tentara At Turk di sini adalah tentara Kafir.
Saya menemukan pernyataan serupa dari ‘ulama yang lebih tinggi tingkatannya daripada Al Humaidi, yaitu Ashim bin Syumaikh bahwa dia bercerita: “Saya bertemu dengan Abu Sa’id Al Khudri saat beliau sudah lanjut usia dan tangan beliau sudah gemetaran. Beliau berkata: “Memerangi mereka (yaitu Khawarij) menurutku lebih utama daripada memerangi tentara (kafir) Al Atrak” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (XV/303) dan Ahmad (III/33)]

Oleh sebab itu ketika membicarakan hadits Abu Sa’id tentang perintah memerangi Khawarij, Ibnu Hubairah berkata : “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa memerangi kaum Khawarij lebih utama daripada memerangi kaum musyrik. Hikmahnya, menumpas kaum Khawarij ini adalah untuk menjaga eksistensi Islam. Sementara memerangi ahli syirik adalah untuk mendatangkan keuntungan bagi Islam. Menjaga keutuhan dan eksistensi tentu lebih utama” [Fathul Baari karya Ibnu Hajar (XII/410]

Abu ‘Ubaid al Qasim bin Sallam berkata: “Orang yang memegang sunnah ibarat memegang bara api. Menurutku sekarang ini mempertahankan sunnah lebih utama daripada mengayunkan pedang berperang fi sabilillah” [Tarikh Baghdad (XII/410)]

Ibnul Qayyim berkata : “Jihad dengan hujjah dan lisan lebih didahulukan daripada jihad dengan pedang dan tombak” [Syarah Qasidah An Nuniyah oleh Muhammad Khalil Haras (I/12) dan silahkan lihat juga Al Jawabus Shahih oleh Ibnu Taimiyah (I/237)]

Ibnul Qayyim juga berkata: “Jihad dengan ilmu adalah jihadnya para nabi dan rasul-Nya, orang-orang pilihan dari kalangan hamba-Nya yang mendapat karunia taufiq dan hidayah” [lihat muqaddimah Al Kafiyah Asy Syafiyah hal. 19]

Tapi kenapa menggunakan kata-kata yang keras dan pedas terhadap saudara sendiri?

Ketahuilah, bahwa pada asalnya amar ma’ruf nahi munkar itu dilakukan dengan halus dan lemah lembut. Allah berfirman:
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة و الموعظة الحسنة و جادلهم بالتي هي أحسن
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang baik.” [An Nahl : 125]

Allah juga berfirman ketika mengutus Nabi Musa:
اذهبا إلى فرعون إنه طغى  فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو يخشى
“Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” [Thaha : 43-44]

Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam dalam hadits yang dibawakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَ لاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya kelemahlembutan itu tidaklah dia berada pada sesuatu kecuali pasti akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek.” [HR. Muslim 2594]

Namun perlu juga kita pahami di sini,bahwa kelembutan bukan berarti kita harus diam terhadap kemungkaran dan kebid’ahan. Asy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah menjelaskan: “Tidak diragukan bahwa syari’at Islam ini adalah syari’at yang sempurna, datang dengan membawa tahdzir (peringatan) terhadap berbagai sikap ghuluw (melampaui batas) dalam urusan agama. Memerintahkan da’wah ke jalan yang haq dengan hikmah, nasehat yang baik, dan debat dengan cara yang lebih baik. Akan tetapi ternyata syari’at ini sama sekali tidak melupakan sikap keras dan tegas yang diletakkan pada tempatnya, di mana lemah lembut dan debat tidak lagi berguna. Sebagaimana firman Allah :
يا أيها النبي جاهد الكفار و المنافقين و اغلظ عليهم، و مأواهم النار و بئس المصير 
Wahai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafiqin, serta bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat tinggal mereka adalah jahannam, dan itu sejelek-jelek tempat tinggal [At Taubah : 73]
…. –sekian Asy Syaikh bin Baz—
Bahkan terkadang seorang mu’min akan lebih keras dan tegas mengingkari kemungkaran yang ada pada saudaranya daripada terhadap orang kafir. Kita lihat bagaimana lembutnya Nabiyullah Musa mengajak Fir’aun kepada tauhid, tetapi keras terhadap saudaranya Nabiyullah Harun . Allah berfirman tentang itu:
و ألقى الألواح و أخذ برأس أخيه يجره إليه
“Dan Musa pun melemparkan luh-luh (lembaran-lembaran Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menarik kearahnya.” [Al A’raf : 150]

Apakah kita akan menganggap Nabi Musa tidak memiliki sikap wala’ terhadap saudaranya Nabiyullah Harun karena berlemah lembut terhadap thaghut besar tapi kaku dan kasar terhadap saudaranya sendiri?

Bandingkan pula dengan sikap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam yang menegur shahabatnya sendiri dengan ucapan yang sangat keras hanya karena masalah “sepele” saja.

Di dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah dia mengisahkan bahwa Mu’adz biasa shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam, kemudian dia kembali ke kaumnya dan shalat mengimami mereka. (Suatu hari) dia mengimami dengan membaca Surat Al Baqarah. Karena bacaan yang terlalu panjang itu, ada seseorang yang shalat sendiri dengan memendekkan shalat, kemudian langsung pergi. Berita ini sampai kepada Mu’adz, maka dia mencap orang tersebut sebagai munafiq. Kemudian orang itu pun mengetahui hal itu, maka dia pun datang kepada Rasulullah dan mengadukan hal itu: “Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam, kami ini kaum yang bekerja sendiri untuk mengairi tanaman kami. Dan Mu’adz shalat bersama kami tadi malam dengan membaca surat Al Baqarah. Kemudian saya shalat sendiri lebih ringkas. Lantas dia menuduh saya munafiq.”
Mendengar itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam pun marah dan berkata:
يا معاذ أفتان أنت؟ (ثلاثا). اقرأ : ] و الشمس و ضحاها [ و ] سبح اسم ربك الأعلى [ ونحوها

“Wahai Mu’adz, apa kau ini tukang fitnah! , apa kau ini tukang fitnah! , apa kau ini tukang fitnah! . Bacalah (dalam shalatmu) surat “Wasy Syamsi Wadhuha-ha” dan surat “Sabbihisma Rabikal A’la” atau yang semisalnya.”

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam marah besar terhadap Mu’adz atas peristiwa tersebut, padahal beliau pernah berkata kepada Mu’adz bahwa beliau mencintainya. Apakah kita kemudian memprotes Rasulullah karena sikap beliau yang “kasar” terhadap shahabatnya sendiri?

Demikianlah, terkadang seorang muslim itu lebih keras pengingkarannya terhadap kebatilan yang dilakukan oleh saudaranya sesama muslim. Itu justru sebagai bukti kecintaannya terhadap sesama muslim, karena dia ingin saudara terselamatkan dari adzab Allah sebagaimana dia pun ingin dirinya terselamatkan dari adzab Allah.

Sikap yang demikian, bukan muncul dari pendapat, analisa, maupun perasaan, namun ditegakkan di atas hujjah, ditegakkan di atas bimbingan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman dan pengamalan salaful ummah.

(Dikutip dari tulisan situs Mereka Adalah Teroris, http://www.merekaadalahteroris.com/keras-ab.htm)

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.

Upaya Menjaga Kemurnian Islam Menyoal Tahdzir & Norma-Normanya

Sumber : http://abizecha.multiply.com/journal/item/245


بسم الله الرحمن الرحيم

oleh ustadz Abu Abdirrahman Abdullah Zaen

Pendahuluan

Empat belas abad sudah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kita umat Islam. Semakin hari kemurnian ‘ajaran Islam’ semakin keruh akibat tercemar ‘benda-benda asing” (baca: bid’ah dkk.). Ibarat suatu aliran sungai yang telah ribuan kilometer meninggalkan mata airnya; berubah menjadi amat keruh karena telah bercampur dengan sampah-sampah yang dicampakkan ke dalamnya oleh oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab.

Jauh-jauh hari, fenomena ini telah disitir oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,


« فإنه لا يأتي عليكم يوم أو زمان إلا والذي بعده شر منه حتى تلقوا ربكم »

“Tidaklah datang kepada kalian suatu hari atau suatu zaman melainkan sesudahnya lebih buruk dari sebelumnya, hingga kalian berjumpa dengan Rabb kalian.” (HR. Ibnu Hibban (XIII/282 no. 5952 -al-Ihsan). Muhaqqiq Shahih Ibn Hibban menshahihkan hadits ini.)

Maka, sudah merupakan suatu hal yang lazim, jika kita kaum muslimin dituntut untuk berusaha memurnikan kembali ‘ajaran agama kita’, dan membersihkannya dari noda-noda yang telah melekat lama di tubuhnya. Inilah yang diistilahkan oleh sebagian ulama dengan upaya tashfiyah (memurnikan).

Sebelum menyibukkan diri dengan mentarbiyah (mendidik) umat, kita dituntut untuk terlebih dahulu mentashfiyah ajaran yang di atasnya kita akan mendidik umat ini. Jadi, metode yang tepat adalah tashfiyah dulu baru tarbiyah. (Untuk pembahasan lebih luas rujuk: At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fi Isti’nafi al-Hayah al-Islamiyyah, karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi.)

Di antara upaya yang dilakukan oleh para ulama untuk meraih kembali beningnya ajaran Islam; mempraktekkan metode tahdzir.


Definisi Tahdzir

Tahdzir adalah: memperingatkan umat dari kesalahan individu atau kelompok dan membantah kesalahan tersebut; dalam rangka menasehati mereka dan mencegah agar umat tidak terjerumus ke dalam kesalahan serupa.


Dalil Disyari’atkannya Tahdzir

Banyak sekali dalil-dalil -baik dari al-Qur’an maupun sunnah- yang menunjukkan akan disyari’atkannya tahdzir, jika dilakukan sesuai dengan norma-norma yang digariskan syari’at.

Di antaranya adalah firman Allah ta’ala,

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali-Imran: 104)

Ayat di atas menjelaskan akan disyariatkannya amar ma’ruf nahi munkar, dan para ulama telah menjelaskan bahwa tahdzir adalah merupakan salah satu bentuk amar ma’ruf nahi munkar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Kalaupun dia (ahlul bid’ah tersebut) tidak berhak atau tidak memungkinkan untuk dihukum, maka kita harus menjelaskan bid’ahnya tersebut dan mentahdzir (umat) darinya, sesungguhnya hal ini termasuk bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ al-Fatawa (XXXV/414). Lihat pula: Sittu Durar min Ushul Ahl al-Atsar, karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani: hal. 109-112)

Senada dengan keterangan Ibnu Taimiyah di atas; penjelasan yang dibawakan oleh Imam al-Haramain al-Juwaini rahimahullah.( Lihat: al-Kafiah fi al-Jadal, hal. 20-21)


Di antara dalil disyari’atkannya tahdzir adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


« يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله؛ ينفون عنه تحريف الغالين, وانتحال المبطلين, وتأويل الجاهلين »

“Agama ini diemban di setiap zaman oleh para ulama; yang menyisihkan penyimpangan golongan yang ekstrim, jalan orang-orang batil dan ta’wilnya orang-orang yang jahil.” (HR. Al-Khathib al-Baghdady rahimahullah dalam Syaraf Ashab al-Hadits (hal. 65 no. 51) dan yang lainnya.

Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ahmad rahimahullah sebagaimana dalam Syaraf Ashab al-Hadits (hal. 65). Al-’Ala’i rahimahullah dalam Bughyah al-Multamis, hal. 34 berkata, “Hasan shahih gharib”. Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Thariq al-Hijratain, hal. 578 berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari banyak jalan yang saling menguatkan”. Senada dengan perkataan Ibnu al-Qayyim: penjelasan al-Qashthallani dalam Irsyad as-Sari, (I/7). Syaikh Salim al-Hilaly hafizhahullah telah mentakhrij hadits ini secara riwayah dan dirayah dalam kitabnya Irsyad al-Fuhul ila Tahrir an-Nuqul fi Tashih Hadits al-’Udul, dan beliau menyimpulkan bahwa derajat hadits ini adalah hasan.)

Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan akan disyari’atkannya tahdzir (Lihat dalil-dalil tersebut dalam kitab: Mauqif Ahl as-Sunnah, karya Syaikh Dr. Ibrahim ar-Ruhaily hafizhahullah (II/482-488), al-Mahajjah al-Baidha’ karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah (hal. 55-74), ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, karya Syaikh Bakr Abu Zaid syafahullah (hal. 22-29), dan Munazharat A’immah as-Salaf, karya Syaikh Salim al-Hilaly hafizhahullah (hal.14-19)) Bahkan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mempraktekkan metode tahdzir dalam kehidupannya; entah itu tahdzir terhadap individu maupun tahdzir dari suatu kelompok tertentu.

Di antara contoh praktek beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mentahdzir suatu individu; tatkala beliau mentahdzir dari ‘nenek moyang’ Khawarij: Abdullah bin Dzi al-Khuwaishirah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


« إنه سيخرج من ضئضئي هذا قوم يقرؤون القرآن لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية »

“Akan muncul dari keturunan orang ini; generasi yang rajin membaca al-Qur’an, namun bacaan mereka tidak melewati kerongkongan (tidak memahami apa yang mereka baca). Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah yang menancap di tubuh buruan lalu melesat keluar dari tubuhnya.” (HR. Ahmad (III/4-5). Para muhaqqiq Musnad (XVII/47) menshahihkan isnadnya. Hadits ini aslinya dalam Bukhari (no. 6933) dan Muslim (II/744 no. 1064))

Adapun praktek beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mentahdzir dari suatu kelompok yang menyimpang, antara lain tatkala beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mentahdzir umat dari sekte Khawarij dalam sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam,


« شر قتلى قتلوا تحت أديم السماء وخير قتيل من قتلوا كلاب أهل النار »

“Mereka adalah seburuk-buruk orang yang dibunuh di muka bumi. Dan sebaik-baik orang yang terbunuh adalah orang yang terbunuh ketika memerangi anjing-anjing penghuni neraka.” (HR. Ibnu Majah (I/62 no. 176). Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibn Majah (I/76) berkata, “Hasan shahih”)


Praktek Para Ulama dalam Menerapkan Metode Tahdzir

Para ulama Ahlus Sunnah telah menjelaskan bahwa mentahdzir dari ahlul bid’ah dan membantah mereka merupakan amalan yang disyari’atkan di dalam agama Islam dalam rangka menjaga kemurnian agama Islam dan menasihati umat agar tidak terjerumus ke dalam kubang bid’ah tersebut.

Di antara keterangan tersebut, perkataan Imam al-Qarafi rahimahullah, “Hendaknya kerusakan dan aib ahlul bid’ah serta pengarang buku-buku yang menyesatkan dibeberkan kepada umat, dan dijelaskan bahwa mereka tidak berada di atas kebenaran; agar orang-orang yang lemah berhati-hati darinya sehingga tidak terjerumus ke dalamnya. Dan semampu mungkin umat dijauhkan dari kerusakan-kerusakan tersebut.” (Al-Furuq, IV/207)

Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, “Mana yang lebih engkau sukai; seseorang berpuasa, shalat dan i’tikaf atau mengkritik ahlul bid’ah? Beliau menjawab, “Kalau dia shalat, puasa dan i’tikaf maka manfaatnya hanya untuk dia sendiri, namun jika dia mengkritik ahlul bid’ah maka manfaatnya bagi kaum muslimin, dan ini lebih afdhal!.” (Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam: XXVIII/231)


Dan masih banyak perkataan-perkataan ulama Ahlus Sunnah yang senada. (Lihat: Mathla’ al-Fajr fi Fiqh az-Zajr bi al-Hajr karya Syaikh Salim al-Hilali (hal. 62-77) dan Ijma’ al-’Ulama’ ‘ala al-Hajr wa at-Tahdzir min Ahl al-Ahwa’, karya Syaikh Khalid azh-Zhufairi, hal. 89-153)

Berikut ini akan kami bawakan beberapa contoh praktek nyata para ulama kita dari dulu sampai sekarang dalam menerapkan metode tahdzir -baik tahdzir terhadap individu maupun terhadap kelompok tertentu-; supaya kita paham betul bahwa metode tahdzir adalah metode yang ashli (orisinil) dan bukan metode bid’ah yang diada-adakan di zaman ini. (Tidak semua tokoh yang kami sebutkan di sini berakidah Ahlus Sunnah dalam setiap permasalahan, namun ada sebagian kecil dari mereka yang berseberangan dengan Ahlus Sunnah dalam berbagai permasalahan.

Sengaja mereka kami sebutkan pula, agar umat tahu bahwa metode tahdzir ini juga diterapkan oleh para ahli ilmu di luar lingkaran Ahlus Sunnah, maka amat keliru jikalau Ahlus Sunnah selalu dipojokkan akibat mereka menerapkan metode ini, wallahu a’lam) :

1. Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma (wafat thn 73 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Qadariyah dengan perkataannya, “Beritahukanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku.” (HR. Muslim, no. 1)

2. Imam al-Bukhari rahimahullah (w. 256 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Jahmiyyah dalam kitabnya: “Khalq Af’al al-’Ibad wa ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah wa Ashab at-Ta’thil.”( Dicetak di Riyadh: Dar Athlas al-Khadhra’, dengan tahqiq Dr. Fahd al-Fuhaid)

3. Imam ad-Darimi rahimahullah (w. 280 H) ketika beliau mentahdzir dari Bisyr al-Mirrisi dalam kitabnya: “Naqdh Utsman ad-Darimi ‘ala al-Mirrisi al-Jahmi al-’Anid fima Iftara ‘ala Allah fi at-Tauhid.”( Dicetak di Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, dengan tahqiq Dr. Rasyid al-Alma’i)

4. Imam ad-Daruquthni rahimahullah (w. 385 H) ketika beliau mentahdzir dari ‘Amr bin ‘Ubaid -gembong sekte Mu’tazilah di zamannya- dalam kitabnya “Akhbar ‘Amr bin ‘Ubaid bin Bab al-Mu’tazili.” (Dicetak di Riyadh; Dar at-Tauhid, dengan tahqiq Muhammad Alu ‘Amir)

5. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani rahimahullah (w. 430 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Rafidhah dalam kitabnya “Al-Imamah wa ar-Radd ‘ala ar-Rafidhah.” (Dicetak di Madinah: Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam, dengan tahqiq Prof. Dr. Ali al-Faqihi)

6. Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah (w. 505 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte al-Bathiniyyah dalam kitabnya “Fadha’ih al-Bathiniyyah.” (Dicetak di Kuwait: Dar al-Kutub ats-Tsaqafiyyah, dengan tahqiq Abdurrahman Badawi)

7. Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah (w. 620 H) ketika beliau mentahdzir dari Abu al-Wafa’ Ibnu ‘Aqil -salah seorang tokoh sekte Mu’tazilah- dalam kitabnya “Tahrim an-Nadzar fi Kutub al-Kalam.” (Dicetak di Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, dengan tahqiq Abdurrahman Dimasyqiyyah)

8. Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728 H) ketika beliau mentahdzir dari al-Bakri -salah seorang tokoh sufi di zaman itu- dalam kitabnya “Al-Istighatsah fi ar-Radd ‘ala al-Bakri.” ( Dicetak di Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, dengan tahqiq Dr. Abdullah as-Sahli)

9. Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah (w. 751 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Jahmiyyah dan golongan Mu’athilah dalam kitabnya “Ash-Shawa’iq al-Mursalah ‘ala al-Jahmiyyah wa al-Mu’athilah.” (Dicetak di Riyadh: Adhwa’ as-Salaf, dengan tahqiq Dr. Ali ad-Dakhilullah)

10. Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah (w. 974 H) ketika beliau mentahdzir dari sekte Rafidhah dan orang-orang Zindiq dalam kitabnya “Ash-Shawa’iq al-Muhriqah ‘ala Ahl ar-Rafdh wa adh-Dhalal wa az-Zandaqah.” (Dicetak di Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, dengan tahqiq Abdurrahman at-Turki dan Kamil al-Kharrath)

11. Imam Abdul Lathif bin Abdurrahman Alu Syaikh rahimahullah (w. 1292 H) ketika beliau mentahdzir dari Dawud bin Jarjis -salah satu pembesar sufi di zaman itu- dalam kitabnya “Minhaj at-Ta’sis wa at-Taqdis fi Kasyf Syubuhat Dawud bin Jarjis.” (Dicetak di Riyadh: Dar al-Hidayah)

12. Imam Abu al-Ma’ali al-Alusi rahimahullah (w. 1342 H) ketika beliau mentahdzir dari an-Nabhani -salah satu tokoh sufi di zaman itu- dalam kitabnya “Ghayah al-Amani fi ar-Radd ‘ala an-Nabhani.” (Dicetak di Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, dengan ‘inayah ad-Dani Zahwi)

13. Al-’Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah (w. 1376 H) ketika beliau mentahdzir dari Abdullah al-Qashimi -salah satu tokoh yang terpengaruh pemikiran sekuler di zaman itu- dalam kitabnya “Tanzih ad-Din wa Hamalatih wa Rijalih mimma Iftarah al-Qashimi fi Aghlalih.” (Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Jauzi, dengan tahqiq Abdurrahman ar-Rahmah)

14. Al-’Allamah al-Albani rahimahullah (w. 1420 H) ketika beliau mentahdzir dari Hasan Abdul Mannan dalam kitabnya “An-Nashihah bi at-Tahdzir min Takhrib Ibn Abdil Mannan li Kutub al-A’immah ar-Rajiihah wa Tadh’ifih li Mi’aat al-Ahadits ash-Shahihah.” ( Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Qayyim)

15. Al-’Allamah Abdul Muhsin al-’Abbad hafidzahullah ketika beliau mentahdzir dari ar-Rifa’i dan al-Buthi -tokoh-tokoh yang membenci dakwah salafiyah- dalam kitabnya “Ar-Radd ‘ala ar-Rifa’i wa al-Buthi fi Kadzibihima ‘ala Ahl as-Sunnah wa Da’watihima Ila al-Bida’ wa adh-Dhalal.” (Dicetak di Kairo: Dar al-Imam Ahmad)

16. Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid hafidzahullah ketika beliau mentahdzir dari Muhammad bin Ali ash-Shabuni -salah satu tokoh sekte Asy’ariyyah abad ini- dalam kitabnya “At-Tahdzir min Mukhtasharat Muhammad bi Ali ash-Shabuni fi at-Tafsir.” (Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Jauzi)

17. Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafidzahullah ketika beliau mentahdzir dari Sayyid Quthb -salah satu tokoh pergerakan Islam yang mengusung pemikiran takfiri- dalam kitabnya “Matha’in Sayyid Quthb fi Ashab Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam”( Dicetak di Emirat: Maktabah al-Furqan) dan kitab-kitab beliau lainnya.

18. Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafidzahullah ketika beliau mentahdzir dari Hasan as-Segaf -salah satu tokoh sekte Jahmiyah abad ini- dalam kitabnya “Al-Qaul as-Sadid fi ar-Radd ‘ala Man Ankara Taqsim at-Tauhid.” (Dicetak di Damam: Dar Ibn al-Qayyim)

19. Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafidzahullah ketika beliau mentahdzir dari kelompok-kelompok pergerakan abad ini yang memiliki penyimpangan-penyimpangan, dalam kitabnya “Al-Jama’at al-Islamiyyah fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah bi Fahm Salaf al-Ummah.” (Dicetak di Kairo; Dar al-Imam Ahmad)

Dan masih ada puluhan bahkan mungkin ratusan contoh praktek nyata para ulama kita -tempo dulu maupun di zaman ini- dalam menerapkan metode tahdzir ini.

Tujuan Tahdzir

Sebagian orang mengira bahwa mentahdzir dari ahlul bid’ah tidak sejalan dengan sifat waro’. Mereka tidak sadar bahwa para ulama Ahlus Sunnah sekaliber Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ibn al-Mubarak, Imam Sufyan ats-Tsauri dan yang lain, mereka juga tidak jemu-jemu untuk senantiasa mentahdzir umat dari ahlul bid’ah. Padahal siapa di antara kita yang tidak mengenal tingginya tingkat ketaqwaan dan derajat kewaro’an mereka?

Barangkali orang-orang tersebut belum mengetahui rahasia besar yang mendorong para ulama kita untuk menerapkan metode ini. Di antara hal-hal yang mendorong penerapan metode ini:

1. ‘Panah beracun’ yang melesat dari bid’ah mengenai secara langsung ke dalam hati dan merusaknya. Jika hati seorang muslim telah rusak maka dampaknya akan sangat besar terhadap lahiriyahnya.

2. Banyak di antara kaum muslimin yang tidak mengetahui akan keburukan ahlul bid’ah karena mereka menampakkan keshalihan di hadapan umat. Dan ini amat berbahaya bagi kaum muslimin, karena kenyataannya betapa banyak di antara mereka yang terjerumus ke dalam bid’ah gara-gara tertipu dengan ‘penampilan’ pengusungnya.

3. Sedikitnya para ulama yang mengetahui bahaya bid’ah dan perinciannya serta berani dan mampu untuk mengupas penyimpangan ahlul bid’ah dengan terperinci, membongkar syubhat-syubhat mereka dan memberantasnya. Maka budaya tahdzir ini perlu untuk dihidupkan dengan norma-norma yang digariskan oleh agama kita. (Lihat kitab: Mauqif Ahl as-Sunnah: II/493-494 dan Sittu Durar min Ushul Ahl al-Atsar: hal. 113-121)

Tahdzir adalah merupakan salah satu bentuk kasih sayang kepada orang yang keliru dan umat. Memang pahit rasanya bagaikan obat, namun jika kita bersabar untuk ‘menelannya’ niscaya, cepat ataupun lambat, kita akan merasakan manisnya ‘kesehatan’ yang kita dambakan.
Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa tatkala agama Islam mensyariatkan tahdzir, agama Islam juga telah menggariskan norma-norma tahdzir, agar tidak timbul penerapan tahdzir yang membabi buta yang tidak selaras dengan ajarannya.


Norma-Norma Tahdzir

Tatkala agama Islam telah menjelaskan disyari’atkannya tahdzir, agama kita pun juga telah menjelaskan norma-normanya. Di antara norma-norma tersebut, apa yang dijelaskan oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily hafizhahullah

1. Pengingkaran itu harus dilakukan dengan penuh rasa ikhlas dan niat yang tulus semata-mata dalam rangka membela kebenaran. Di antara konsekwensi ikhlas dalam masalah ini, adalah berharap agar orang yang terjatuh ke dalam kesalahan mendapatkan hidayah dan kembali kepada al-haq. Dan hendaknya pengingkaran tersebut juga diiringi dengan doa kepada Allah agar dia mendapat petunjuk-Nya. Apalagi jika ia termasuk golongan Ahlus Sunnah, ataupun kaum muslimin lainnya. Dahulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendoakan sebagian orang kafir agar mendapatkan petunjuk, bagaimana halnya jika orang yang bersalah berasal dari kaum muslimin yang bertauhid?! (Tentunya dia lebih berhak untuk didoakan).

2. Hendaknya bantahan tersebut dilakukan oleh seorang alim yang telah mumpuni ilmunya; mengetahui secara detail segala sudut pandang dalam materi bantahan, entah yang berkaitan dengan dalil-dalil syari’at yang menjelaskannya serta keterangan para ulama, maupun tingkat kesalahan lawan, serta sumber munculnya syubhat dalam dirinya, plus mengetahui keterangan-keterangan para ulama yang membantah syubhat tersebut.
Hendaklah orang yang membantah juga memiliki kriteria: kemampuan untuk mengemukakan dalil-dalil yang kuat tatkala menerangkan kebenaran dan mematahkan syubhat. Memiliki ungkapan-ungkapan yang cermat, agar tidak dipahami dari perkataannya kesimpulan yang tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan.

Atau bisa juga tahdzir itu dilakukan oleh thalibul ‘ilm yang menukil perkataan para ulama, dan dia cermat dalam menukil serta memahami apa yang ia nukil.Jika tidak memenuhi kriteria-kriteria di atas niscaya yang akan timbul adalah kerusakan yang besar.

3. Hendaklah tatkala membantah, ia memperhatikan: perbedaan tingkat kesalahan, perbedaan kedudukan orang yang bersalah baik dalam bidang keagamaan maupun sosial, juga memperhatikan perbedaan motivasi pelanggaran; apakah karena tidak tahu, atau hawa nafsu dan keinginan untuk berbuat bid’ah, atau mungkin cara penyampaiannya yang keliru dan salah ucap, atau karena terpengaruh dengan seorang guru dan lingkungan masyarakatnya, atau karena ta’wil, atau karena tujuan-tujuan lain di saat ia melakukan pelanggaran syari’at. Barang siapa yang tidak mencermati atau memperhatikan perbedaan-perbedaan ini, niscaya ia akan terjerumus ke dalam sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau sebaliknya (kelalaian/penyepelean), yang mana ini semua akan berakibat tidak bergunanya perkataan dia atau paling tidak manfaatnya akan menjadi kecil.

4. Hendaklah ia senantiasa berusaha mewujudkan maslahat yang disyariatkan dari bantahan tersebut. Jika bantahan tersebut justru mengakibatkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka tidak disyariatkan untuk membantah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan (suatu kaedah penting), “Tidak dibenarkan menghindari kerusakan kecil dengan melakukan kerusakan yang lebih besar, juga tidak dibenarkan mencegah kerugian yang ringan dengan melakukan kerugian yang lebih berat. Karena syariat Islam datang dengan tujuan merealisasikan maslahat dan menyempurnakannya, juga melenyapkan kerusakan dan menguranginya sedapat mungkin. Pendek kata, jika tidak mungkin untuk memadukan antara dua kebaikan, maka syariat Islam (mengajarkan untuk) memilih yang terbaik. Begitu pula halnya dengan dua kerusakan, jika tidak dapat dihindari kedua-duanya, maka kerusakan terbesarlah yang harus dihindari”. (Al-Masa’il al-Mardiniyah, hal. 63-64).

5. Hendaknya bantahan disesuaikan dengan tingkat tersebarnya kesalahan tersebut. Sehingga jika suatu kesalahan hanya muncul di suatu daerah atau sekelompok masyarakat, maka tidak layak bantahannya disebarluaskan ke daerah lain atau kelompok masyarakat lain yang belum mendengar kesalahan tersebut, baik penyebarluasan bantahan itu dengan menerbitkan buku, kaset maupun dengan menggunakan media-media lain. Karena menyebarluaskan suatu bantahan atas kesalahan, berarti secara tidak langsung juga menyebarluaskan pula kesalahan tersebut.

Bisa jadi ada orang yang membaca atau mendengar suatu bantahan, akan tetapi syubhat-syubhat (kesalahan itu) masih membayangi hati dan pikirannya, juga tidak merasa puas dengan bantahannya. Jadi, menghindarkan masyarakat dari mendengarkan kebatilan, adalah lebih baik daripada memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendengarkan kebatilan lalu memperdengarkan kepada mereka bantahannya. Para salaf senantiasa mempertimbangkan norma ini dalam bantahan-bantahan mereka. Banyak sekali kita dapatkan kitab-kitab mereka yang bertemakan bantahan, tapi di dalamnya mereka hanya menyebutkan dalil-dalil yang menjelaskan al-haq, yang merupakan kebalikan dari kesalahan tersebut, tanpa meyebutkan kesalahan itu. Tentu ini membuktikan akan tingkat pemahaman mereka yang belum dicapai oleh sebagian orang yang hidup di zaman ini.

Pembahasan yang baru saja diutarakan -yang berkaitan dengan menyebarkan bantahan di daerah yang belum terjangkiti kesalahan-, sama halnya dengan pembahasan tentang menyebarkan bantahan di tengah-tengah sekelompok orang yang tidak mengetahui kesalahan itu, walaupun ia tinggal di daerah yang sama. Maka tidak seyogyanya menyebarkan bantahan -baik melalui buku maupun kaset- di tengah-tengah masyarakat yang tidak mengetahui atau mendengar adanya kesalahan tersebut.

Betapa banyak orang awam yang terfitnah dan terjatuh ke kubang keraguan terhadap dasar-dasar agama, akibat membaca buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran mereka.

6. Hukum membantah pelaku suatu kesalahan adalah fardhu kifayah, sehingga bila telah ada seorang ulama yang melaksanakannya, tujuan syariat telah terealisasi dengan bantahan dan peringatan darinya. Maka tanggung jawab (kewajiban) para ulama yang lain telah gugur. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama dalam pembahasan hukum fardhu kifayah. (Lihat: Nashihah li asy-Syabab (hal. 6-8). Ada beberapa tambahan dari kami atas poin kedua, dan hal tersebut telah disetujui oleh Syaikh Ibrahim. Silahkan merujuk pula: Mauqif Ahl as-Sunnah: II/507-509 dan ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, karya Syaikh Bakr Abu Zaid, hal 53-68 dan 85)


Penutup

Di akhir tulisan ini kami ingin meluruskan beberapa pemahaman keliru yang kerap menjadikan sebagian orang merasa enggan untuk menerapkan metode tahdzir.Di antara pemahaman yang keliru tersebut:

Pertama: Tahdzir adalah menyebutkan keburukan orang lain, dan ini adalah ghibah. Padahal ghibah jelas keharamannya berdalilkan al-Qur’an, hadits dan ijma’. (Di antara para ulama yang menukil ijma’ akan haramnya ghibah: Imam Ibn Hazm dalam Maratib al-Ijma’ (hal. 156), Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar (hal. 542) dan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-’Azhim (VII/380). Sedangkan Imam al-Qurthubi dalam al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an, beliau mengatakan bahwa para ulama tidak berbeda pendapat bahwa ghibah adalah termasuk kategori dosa besar)

Jawabnya: Penerapan metode tahdzir dari individu atau kelompok yang memiliki penyimpangan, merupakan salah satu bentuk nasehat yang wajib dilakukan. Dan ini tidak termasuk ghibah yang diharamkan dalam agama Islam.

Imam Ibn Hazm rahimahullah berkata, “Para ulama telah berijma’ akan diharamkannya ghibah, kecuali dalam nasehat yang wajib.” (Lihat: Maratib al-Ijma’, hal. 156)

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ghibah diperbolehkan dalam enam kondisi, di antaranya, “Kondisi keempat: (ghibah diperbolehkan) di saat mentahdzir kaum muslimin dari suatu keburukan, serta ketika menasihati mereka. Dan hal ini ada beberapa macam bentuknya … antara lain: jika seseorang melihat seorang santri berangkat belajar pada ahlul bid’ah atau orang yang fasik dan dia khawatir santri tersebut akan terpengaruh dengan keburukannya, maka hendaknya ia menasihati santri tersebut dengan menjelaskan kepadanya hakikat keadaan ahlul bid’ah atau orang fasik tersebut, (hal ini dibolehkan) dengan syarat tujuannya adalah untuk nasihat.” (Riyadh ash-Shalihin, hal. 561-562)

Oleh karena itu -sebagaimana telah kita jelaskan di atas- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama sesudah beliau pun menerapkan metode ini. Bukankah mereka juga pasti mengetahui bahwa ghibah haram hukumnya? (Untuk pembahasan lebih luas tentang masalah ini, silahkan merujuk kitab Mauqif Ahl as-Sunnah min Ahl al-Bida’, (II/481-510))

Kedua: Penerapan metode tahdzir akan menimbulkan perpecahan di tubuh umat Islam. Padahal saat ini kita amat butuh untuk bersatu guna melawan musuh-musuh kita.

Jawabnya: Dari beberapa sisi:

Selama umat Islam tidak kembali kepada agamanya yang benar, niscaya mereka akan terus menjadi bulan-bulanan musuh mereka. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إذا تبايعتم بالعينة وأخذتم أذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلاً لا ينـزعه حتى ترجعوا إلى دينكم »

“Jika kalian telah berjual beli dengan sistem ‘inah (salah satu sistem riba), kalian mengekor hewan ternak kalian, dan terbuai dengan cocok tanam, kemudian kalian meninggalkan jihad; niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian, hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, III/477 no. 3462, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, II/365)

Jadi, sekedar menggembar-gemborkan persatuan antar umat, tanpa meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan mengembalikan umat kepada ajaran Islam yang murni, tidak akan bermanfaat untuk mengalahkan musuh.

Kalaupun bersatu dalam jumlah yang banyak, namun persatuan itu hanya ibarat banyaknya buih di lautan. Sebagaimana yang disitir oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,


« يوشك الأمم أن تداعى عليكم كما تداعى الأكلة إلى قصعتها. فقال قائل: ومن قلة نحن يومئذ؟ قال: بل أنتم يومئذ كثير ولكنكم غثاء كغثاء السيل »

“Akan tiba saatnya bangsa-bangsa mencaplok kalian, sebagaimana orang-orang yang berebut makanan di dalam nampan. Seseorang bertanya, “Apakah karena saat itu jumlah kita sedikit?”. Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bahkan saat itu jumlah kalian banyak, namun kalian bagaikan buih di lautan.” (HR. Abu Dawud (IV/315 no. 4297), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (III/25))

2. Yang kerap menimbulkan perpecahan adalah penerapan metode tahdzir tanpa mengindahkan norma-normanya. Jika ada orang yang menerapkan metode tahdzir tanpa memperhatikan norma-normanya, maka janganlah kita mengingkari metode tahdzirnya; karena metode ini telah disyariatkan berdasarkan dalil-dalil yang kuat -sebagaimana telah dijelaskan di atas-. Sikap yang benar adalah: kita tetap menerapkan metode ini, namun dengan memperhatikan norma-normanya, sambil berusaha meluruskan pihak yang keliru dalam penerapannya. Jika metode tahdzir telah dilakukan sesuai dengan norma-normanya insyaAllah tidak akan menimbulkan perpecahan, kecuali dalam satu kondisi yaitu:

3. Orang yang diperingatkan tetap bersikeras dengan kesalahannya. Inilah yang justru menimbulkan perpecahan di dalam tubuh umat. Sudah dijelaskan padanya dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits, serta perkataan-perkataan para ulama yang menerangkan kesalahan dia, namun masih saja ngotot dengan pendapatnya yang keliru; orang-orang model seperti inilah yang seharusnya dikatakan merusak rapatnya barisan kaum muslimin, bukan orang-orang yang berusaha menerapkan metode tahdzir dengan norma-normanya yang benar.


Wallahu taa’la a’lam.
Wa shallalllahu’ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alii wa shahbihi ajma’in…

Daftar Pustaka:
1. Al-Qur’an dan terjemahannya.
2. Akhbar ‘Amr bin ‘Ubaid, ad-Daruquthni.
3. Al-Adzkar, an-Nawawi.
4. Al-Furuq, al-Qarafi.
5. Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibn Hibban, Ibn Balban.
6. Al-Imamah, al-Ashbahani.
7. Al-Istighatsah, Ibn Taimiyah.
8. Al-Jama’at al-Islamiyyah, Salim al-Hilali.
9. Al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an, al-Qurthubi.
10. Al-Kafiyah fi al-Jadal, al-Juwaini.
11. Al-Mahajjah al-Baidha’, Rabi’ al-Madkhali.
12. Al-Qaul as-Sadid, Abdurrazaq al-Badr.
13. An-Nashihah, al-Albani.
14. Ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, Bakr Abu Zaid.
15. Ar-Radd ‘ala ar-Rifa’i, Abdul Muhsin al-’Abbad.
16. Ash-Shawa’iq al-Muhriqah, Ibn Hajar al-Haitami.
17. Ash-Shawa’iq al-Mursalah, Ibn al-Qayyim.
18. At-Tahdzir min Mukhtasharat ash-Shabuni, Bakr Abu Zaid.
19. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah, Ali bin Hasan al-Halabi.
20. Bughyah al-Multamis, al-’Ala’i.
21. Fadha’ih al-Bathiniyyah, al-Ghazali.
22. Ghayah al-Amani, al-Alusi.
23. Ijma’ al-’Ulama, Khalid azh-Zhufairi.
24. Irsyad al-Fuhul ila Tahrir an-Nuqul, Salim al-Hilali.
25. Irsyad as-Sari, al-Qasthallani.
26. Khalq Af’al al-’Ibad, al-Bukhari.
27. Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah.
28. Maratib al-Ijma’, Ibn Hazm.
29. Matha’in Sayyid Quthb, Rabi’ al-Madkhali.
30. Mathla’ al-Fajr, Salim al-Hilali.
31. Mauqif Ahl as-Sunah min Ahl al-Bida’, Ibrahim ar-Ruhaili.
32. Minhaj at-Ta’sis, Abdul Lathif Alu Syaikh.
33. Munazharat A’immah Salaf, Salim al-Hilali.
34. Musnad Ahmad.
35. Naqdh Utsman bin Sa’id, ad-Darimi.
36. Nashihah li asy-Syabab, Ibrahim ar-Ruhaili.
37. Riyadh ash-Shalihin.
38. Shahih al-Bukhari.
39. Shahih Muslim.
40. Shahih Sunan Abi Dawud, al-Albani.
41. Shahih Sunan Ibn Majah, al-Albani.
42. Sittu Durar, Abdul Malik al-Jazairi.
43. Sunan Abi Dawud.
44. Sunan Ibn Majah.
45. Syaraf Ashab al-Hadits, al-Khathib al-Baghdadi.
46. Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, Ibn Katsir.
47. Tahrim an-Nazhar, Ibn Qudamah.
48. Tanzih ad-Din, as-Sa’di.
49. Thariq al-Hijratain, Ibn al-Qayyim.



الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات